Karena itu, Desy menilai pembahasan mengenai RUU Kesehatan ini akan memiliki dampak domino terhadap beberapa undang-undang lainnya.
“Ketika kita berbicara revisi undnag-undang kesehatan ini, akan berdampak domino kepada Undang-Undang Dikdok, Undang-Undang Dikti, dan juga kepada Undang-Undang Praktek Kedokteran atau juga bahkan Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Karena semua yang terlibat dalam kesehatan adalah tenaga kesehatan, dan juga dokter baik itu dokter umum, spesialis, dan juga dokter gigi,” tutur Politisi Fraksi PAN itu.
Catatan penting kedua yang disampaikan Desy untuk Forum Dokter Susah Praktek, yakni mengenai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 terkait dengan Praktik Kedokteran. Bila mengacu dari UU ini, maka praktik kedokteran mengenai lulusan luar negeri hanya ada dua pasal pengaturan dalam UU tersebut. Namun, berdasarkan informasi yang diterimanya, selama ini dokter lulusan luar negeri mengalami kesulitan berpraktek karena proses administrasinya yang cukup memakan waktu lama.
“Pasal pertama yaitu pertama tentang bagaimana adaptasi, dan (pasal kedua mengenai) program adaptasi. Adanya sertifikat kompetensi dan sumpah bahwa sudah bersumpah, SK sehat, pernyataan patuh terhadap etika profesi. As simple as that. Tapi kok rasanya bisa sampai satu tahun (proses administrasinya), sampai gak punya pasien, gak bisa praktek, dan sebagainya. Berarti ada yang salah kan? Nah tentu menjadi catatan kami, karena di undang-undang atau pun di PP nya gak ada,” ungkapnya.
Selain itu, mengenai keberadaan Organisasi Profesi (OP) Kedokteran yang menurutnya keberadaannya tetap penting. Karena OP ini dapat mewakili profesi dokter yang jumlahnya cukup banyak. Oleh karena, jika para dokter tersebut ingin menyampaikan aspirasi ke pemerintah, mereka harus jelas bicara lewat asosiasi apa.
“Mau ngomong satu-satu? Ada sejuta dokter misalnya di Indonesia, ada spesialis-spesialis, mau dipanggil ke DPR, terus DPR manggilnya sejuta orang? It’s imposibble. Jadi, yang harus dipikirkan bersama, bagaimana OP ini betul-betul menaungi dan memberikan kebermanfaatan, tidak merugikan anggotanya dan memudahkan anggotanya,” katanya.
Ketiga, mengenai benchmarking. Menurutnya, perlu ada analisa mengenai kebermanfaatan terhadap suatu kebijakan baru yang ingin diterapkan. Jangan mementingkan ego terhadap keputusan penerapan kebijakan baru ini, jika memang tidak cocok dengan kondisi di Negara Indonesia.
“Nah oleh karena itu, RDPU ini menjadi media untuk kita brainstorming, media diskusi yang terbaik yang mana. Yang gak enak dikurangin, diminimalisir, dengan hasil benchmarking. Siapa tau bisa jalan, jadi bersinergi. Karena buat saya yang paling mahal di Indonesia adalah kolaborasi,” jelasnya.
Keempat, mengenai medical health tourism yang dapat dimasukan ke dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Lantaran dengan berkembangnya fasilitas kesehatan yang canggih dapat menjadi destinasi wisata dan wisata kesehatan.
“Kita Komisi X pernah melakukan kunker ke Sumatera Utara. Dia sudah mulai melakukan health tourism disana. Karena banyak sekali pengobatan-pengobatan herbal seperti itu yang buat paket turis kepada masyarakat wisatawan nusatara, kepada masyarakat Indonesia yang menjadi turis untuk bisa hadir di wilayahnya,” pungkasnya.
Terakhir, terkait dengan Telemedicine. “Karena ini menjadi sebuah keniscayaan kita di era teknologi yang terus berkembang, walaupun blessing in disguise (dari adanya pandemi). Ini (RUU Kesehatan) adalah menjadi sebuah payung hukum penting untuk dihadirkan walaupun mungkin nanti konteksnya pandemi (sudah) tidak ada, tapi ini (Telemedicine) bisa berlanjut ataupun keberlanjutannya harus tetap kita pikirkan payung hukumnya,” tutupnya.Red