Jendelaindo - Perjanjian dalam Islam bukanlah hal yang ringan, karena kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak pada dasarnya akan menimbulkan suatu hak di satu sisi, dan suatu kewajiban di sisi lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan aspek hukum yang ada, sehingga di dalam hukum jika suatu perbuatan memiliki pengaruh atau akibat yang terkait dengan hukum disebut dengan perbuatan hukum, termasuk dalam hal ini adalah perjanjian.
Dalam literatur fiqih klasik tidak ditemukan pembahasan khusus dengan nama perjanjian pra nikah, akan tetapi dibahas dengan sebutan “persyaratan dalam perkawinan” Bahasan tentang syarat dalam perkawinan tersebut tidak sama dengan syarat perkawinan yang dibicarakan dalam kitab fiqih pada umumnya.
Perjanjian pra nikah dapat dipahami sebagai akta kesepakatan antara calon suami dan calon istri yang tertuang dalam pejanjian yang akan mengikuti dan ditaati setelah terjadinya perkawinan, tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan harta bersama, kesepakatan untuk melakukan sesuatu atau melarangnya, seperti larangan kekerasan dalam berumah tangga, larangan selingkuh, kesepakatan untuk monogami, pengaturan tentang penghasilan masing-masing, penyatuan atau pemisahan harta yang dihasilkan dalam perkawinan atau harta bawaan, tanggungjawab hutang masing-masing, pengasuhan anak, biaya perawatan dan pendidikan anak hingga dewasa dan mandiri, dan berbagai kesepakatan lainnya.
Perjanjian Pra Nikah dalam Hukum Positif Dalam Undang Undang Perkawinan, perjanjian pra nikah hanya diatur dalam satu pasal, akan tetapi tidak diatur secara terperinci dan spesifik dalam peraturan pelaksanannya.
Perjanjian ini terdapat dalam bab 5 pasal 29 Undang Undang Perkawinan.
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agam dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari pasal tersebut maka dapat ditafsirkan bahwa, pengertian dalam undang undang perkawinan ini bermakna luas. Artinya Perjanjian ini bisa mengatur hal hal lain diluar harta kekayaan perkawinan. Sebagaimana penjelasan pasal tersebut yang penting perjanjian ini tidak termasuk talak ta’lik.
Perjanjian Pra Nikah dalam KUHPerdata diistilahkan dengan perjanjian perkawinan. KUHPerdata memberikan pengaturan yang lebih lengkap mengenai perjanjian tersebut. Dalam Undang Undang Perkawinan, perjanjian ini hanya diatur dalam satu pasal. Akan tetapi dalam KUHPerdata, perjanjian ini diatur dalam 46 pasal, dimulai dari pasal 139 sampai pasal 185.
Pasal 147 ayat (2) KUHPerdata menyatakan, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan, lain saat untuk itu tidak boleh ditetapkannya. Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk suami istri perjanjian perkawinan mulai berlaku pada saat perkawinan. Hal demikian dimaksudkan demi kepastian hukum, dimana pada saat perkawinan sudah diketahui dengan pasti hukum harta kekayaan perkawinan suami istri. Hal ini sebagi bentuk konsistensi bahwa selama perkawinan hanya ada satu macam bentuk hukum harta kekayaan perkawinan.
Dasar Hukum Perjanjian dalam Al-Quran
1. Al-Maidah ayat 1
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ
”Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki”
2. Surat An-Nahl ayat 91
وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ
”Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah, setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
1320 KUH Perdata menerangkan bahwa agar terjadi persetujuan yang sah, memiliki empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk memnbuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Pada intinya, ketika pembuatan perjanjian pra nikah dapat dilakukan dengan syarat tidak melanggar dan bertolak belakang dengan hukum, syariat islam dan norma norma yang berlaku.
Selain itu, unsur yang harus di penuhi dalam syarat sah subjektif adalah adanya kecakapan atau wenang berbuat oleh para pihak. Kewenangan membuat perjanjian dianggap sah oleh hukum apabila perjanjian yang di lakukan oleh orang orang ataupun subjek yang memenuhi ketentuan berikut:
1. Orang yang sudah dewasa
2. Orang yang tidak ditempatkan di bawah pengampunan.
3. Orang yang tidak dilarang oleh undang undang melakukan perbuatan tertentu.
Kesimpulan
Menurut uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa, membuat Perjanjian pra nikah hukumnya mubah dan diperbolehkan baik dari segi undang undang maupun hukum islam. Pembuatan perjanjian pranikah sama seperti membuat perjanjian lainnya, perjanjian pra nikah dapat dibuat sebelum akad berlangsung maupun sepanjang pelaksanaan akad dilangsungkan. Pembuatan perjanjian sah dilakukan apabila tidak melanggar hukum, syariat dan norma norma yang berlaku.
Perjanjian tersebut akan sah apabila ditulis dan di catatkan dihadapan pejabat perkawinan atau notaris.
Perjanjian pra nikah berfungsi untuk mengantisipasi konflik ketika menjalani kehidupan berumah tangga, guna untuk melindungi hak hak serta kewajiban masing masing pihak dalam rumah tangga. Perjanjian pra nikah ketika ada salah satu pihak melanggar atau tidak mengikuti perjanjian yang telah disepakati bersama tidak langsung memutuskan hubungan perkawinan, namun perjanjian ini dapat digunakan untuk menggugat dan sebagai penguat ketika menggugat perceraian.
Penulis : Mufdlilul Albab, SQ., S.H
(Alumni PTIQ & Mahasiswa Magister UIN Jakarta)
(Foto Ilustrasi)