Ekonomi, Jendelaindo News - Pemerintah dan DPR RI terus ‘ngebut’ untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) atau omnibus law keuangan.
Dikutip dari laman resmi DPR, Paripurna DPR RI ke-11 masa persidangan II tahun sidang 2022-2023 berlangsung pada Selasa (13/12/2022) pukul 10.00 WIB. Diketahui, RUU PPSK resmi masuk RUU prioritas dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2023.
Tak dipungkiri, RUU ini sangat penting bagi negara yang peran sektor keuangannya masih minim, baik perbankan maupun nonperbankan, seperti Indonesia. Adapun reformasi yang diinisiasi pemerintah dalam RUU PPSK, yakni mendukung inisiatif-inisiatif penguatan kelembagaan sektor keuangan Indonesia, di antaranya, mencakup penguatan tujuan dan kewenangan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Melalui UU ini, pemerintah menilai, penguatan kelembagaan OJK sebagai pengatur dan pengawas sektor keuangan perlu dimaksimalkan. Khususnya, dalam hal optimalisasi untuk melakukan pengawasan serta asesmen risiko lintas industri secara terintegrasi.
Berkomentar soal RUU PPSK, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar berharap, dengan adanya rencana lahirnya RUU PPSK maka keseluruhan sektor jasa keuangan di Indonesia dapat memberi kontribusi yang lebih besar lagi pada stabilitas perekonomian dan keuangan maupun pertumbuhan ekonomi,
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku bahagia dan bersyukur karena omnibus law baru, yakni RUU PPSK akan segera terbit.
“Saya hadir mewakili pemerintah bersama Pak Bahlil Lahadalia Menteri Investasi, serta perwakilan dari Kemenkumham dan Kemenkop UKM. Saya sampaikan apresiasi pemerintah kepada DPR atas inisiatifnya mengajukan RUU yang sangat penting ini,” tulis Sri Mulyani, pada Jumat (9/12/2022).
Dari sekian pasal di RUU PPKS, ada satu yang menuai sorotan, yakni soal pembagian beban atau burden sharing antara pemerintah dan BI. Di pasal itu disebutkan, BI tetap dapat melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana untuk mendukung pembiayaan APBN atau yang dikenal dengan skema burden sharing untuk selama-lamanya.
Kolaborasi antara pemerintah dan BI untuk pembiayaan penanganan kesehatan dan kemanusiaan akibat wabah terus berlanjut setelah sempat terealisasi melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) jilid I dan II. Kedua institusi itu—pemerintah dan BI—memutuskan untuk melanjutkan pembagian beban atau burden sharing pada 2021 dan 2022.
SKB jilid III antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI itu menyepakati bahwa burden sharing ditujukan untuk mendukung pendanaan APBN pada 2021 dan 2022. Menanggapi SKB III itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan bahwa kesepakatan itu merupakan respons dari dampak dari pandemi Covid-19, khususnya terkait merebaknya varian Delta, yang mengakibatkan alokasi anggaran kesehatan dan perlindungan sosial meningkat sangat signifikan.
Berkaitan dengan lahirnya RUU PPSK dan kebijakan burden sharing yang telah beberapa kali dilakukan antara pemerintah dan BI, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa kerja sama itu tidak akan dan tidak pernah mengurangi independensi BI dan kemampuan BI untuk melaksanakan kebijakan moneter yang prudent. “Ini juga sebagai wujud panggilan bangsa Indonesia, BI terpanggil untuk ikut serta memulihkan ekonomi,” ujarnya.
Skema burden sharing semakin mendapatkan legitimasinya sesuai tertuang dalam draft RUU PPSK. Soal pembelian SBN itu diatur di pasal 36A ayat (1) RUU tersebut. Di mana disebutkan, BI berwenang membeli SBN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan masalah sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.
Namun, di RUU itu tidak dirinci bagaimana kondisi yang dimaksud dengan krisis. Namun, kondisi krisis itu nantinya akan ditetapkan oleh Presiden RI.
Pembelian SBN tersebut dilakukan berdasarkan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Persoalannya, kursi ketua KSSK diisi oleh pemerintah, yakni Menteri Keuangan. Padahal, skema dan mekanisme pembeliannya ditetapkan dalam keputusan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Terhadap situasi itu, Menteri Keungan Sri Mulyani menjamin langkah tersebut tidak akan menimbulkan moral hazard. Sebab, burden sharing hanya dilakukan saat terjadinya krisis, bukan setiap saat. "Bukan berarti setiap nanti ada defisit anggaran, lalu kami minta burden sharing. Tidak seperti itu," tegas Menkeu.
Krisis yang dimaksud oleh pemerintah adalah krisis luar biasa, yakni kondisi genting yang mengancam stabilitas sistem keuangan, perekonomian, dan berdampak luas. Namun, perlu satu suara terkait difinisi krisis, sehingga tidak ada penyalahgunaan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan, definisi krisis nantinya akan diatur dalam aturan turunan RUUPPSK. Misalnya, pada 2020 saat perkonomian Indonesia terjerembab akibat pandemi Covid-19, BI turun tangan membeli SBN di pasar perdana untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Sejak 2020 hingga 15 November 2022, pembelian SBN oleh BI di pasar perdana telah mencapai Rp974,09 triliun. Itu terdiri dari pembelian SBN berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) I sebesar Rp266,11 triliun, pembelian berdasarkan SKB II sebesar Rp397,56 triliun dan pembelian berdasarkan SKB III hingga 15 November 2022 sebesar Rp310,42 triliun.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, perkiraan BI untuk membeli SBN hingga akhir 2022 akan mencapai sebesar Rp1.144 triliun. Terlepas dari semua itu, akomodasi kebijakan antara pemerintah dan BI memang harus dijembatani melalui UU sehingga mengurangi potensi terjadinya kebijakan yang tidak prudent.
Kebijakan burden sharing memiliki tujuan baik, dimaksudkan sebagai jawaban kekhawatiran akan tekanan suku bunga terhadap beban utang pemerintah di 2023, termasuk bila dalam kondisi krisis.Red/Indonesia.go.id