Kebijakan yang dilakukan bank sentral itu sebagai langkah jaga-jaga dan selalu melihat ke depan, sehingga semuanya menjadi terukur. Tak dipungkiri, Bank Indonesia terus menjaga kondisi makro ekonomi, termasuk tetap terkendalinya laju inflasi di tengah-tengah kondisi perekonomian global yang tidak menentu, melalui kebijakan suku bunganya.
Bank sentral sudah melakukan penyesuaian bunga acuan BI-7 DRR dalam setengah tahun terakhir sejak Agustus 2022. Bunga acuan BI-7 DRR sudah naik 225 basis poin. Terakhir otoritas moneter itu menaikkan suku bunga acuan pada 19 Januari 2023.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, suku bunga acuan BI yang saat ini berada di level 5,75 persen sudah cukup memadai sebagai salah satu instrumen mengendalikan inflasi. Bank sentral memandang, kenaikan lanjutan bunga acuan belum diperlukan.
“Kami menilai langkah agresif bank sentral yang mengerek suku bunga acuan sejak Agustus 2022 dinilai sudah cukup. Kebijakan itu sudah memadai, dalam arti, tidak diperlukan suatu kenaikan lagi, itulah stance (pijakan) dari kebijakan moneter,” katanya dalam konferensi pers, Kamis (16/2/2023).
Dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang berlangsung Kamis (16/2/2023), BI memilih untuk menjaga tingkat bunga acuan di level 5,75 persen.
BI menilai, tingkat suku bunga tersebut memadai untuk memastikan inflasi inti tetap berada dalam kisaran 2 persen—4 persen pada semester I-2023 dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) kembali kepada sasaran 2 persen—4 persen pada semester II-2023.
Beberapa indikator yang mendukung pernyataan itu terlihat dari laju inflasi di dalam negeri menurun lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Inflasi IHK pada Januari 2023 tercatat rendah sebesar 0,34 persen secara bulanan.
Secara tahunan, inflasi pada periode tersebut tercatat sebesar 5,28 persen, lebih rendah dibandingkan dengan periode bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,51 persen. Menurut Perry, penurunan inflasi ini didorong oleh penurunan inflasi inti dan inflasi komponen harga yang diatur pemerintah, serta inflasi pangan bergejolak (volatile food) yang terjaga.
“Perkembangan ini sebagai dampak positif kebijakan moneter BI yang front loaded, preemptive, dan forward looking dalam mengendalikan inflasi dengan didukung pengendalian inflasi volatile food melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan [GNPIP],” katanya.
Sejumlah optimisme yang menyeruak, tetap harus menyisakan kewaspadaan. Pasalnya, hasil dari survei Bank Indonesia juga memberikan peringatan potensi tekanan inflasi pada Maret 2023 yang meningkat seiring dengan momentum Ramadan 1444 Hijriah.
Menurut Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) pada Maret mendatang mencapai 139,1 atau meningkat dibandingkan dengan Februari yang sebesar 134,6. “Pemicunya didorong oleh kenaikan harga selama Ramadan 1444 H. Sementara itu, IEH Juni 2023 tercatat 138,3, menurun dibandingkan dengan Mei 2023 sebesar 140,2,” ujarnya dikutip dari laman resmi BI, Kamis (9/2/2023).
Tak dipungkiri, inflasi secara musiman memang selalu naik menjelang puasa dan Idulfitri. Oleh karena itu, wajar bila masyarakat muncul persepsi inflasi akan meningkat.
Oleh karena itu, peranti yang bisa menahan laju inflasi pada Ramadan hanya bisa dilakukan dengan cara memastikan pasokan mencukupi dan pemerintah melakukan operasi pasar. Sementara itu, terkait dengan situasi global, Perry menilai, akan ada pemulihan ke arah lebih baik dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Meskipun, Amerika Serikat dan Eropa diprediksi masih akan resesi.
Situasi global tersebut, katanya, didorong oleh perbaikan ekonomi di Tiongkok, sejalan dengan dibukanya kembali perekonomian atau penghapusan kebijakan Zero Covid-19 di Negeri Tirai Bambu. “BI memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global berpotensi lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 2,3 persen,” katanya.
Namun demikian, Perry mengatakan bahwa perekonomian di Amerika Serikat (AS) dan Eropa diperkirakan tetap melambat disertai dengan risiko resesi. Di sisi lain, laju inflasi global tercatat telah menurun secara gradual. Hanya saja, tetap pada level yang tinggi seiring dengan masih tingginya harga energi dan pangan, serta pasar tenaga kerja yang masih ketat di AS dan Eropa.
“Perekonomian AS dan Eropa diperkirakan melambat dengan risiko resesi yang masih tinggi,” jelasnya.
Perry memandang, laju kenaikan suku bunga secara global pun telah mendekati puncaknya. Namun, dia menilai, hal itu masih akan tetap berada pada level yang tinggi sepanjang 2023.
Dia menambahkan, ketidakpastian pasar keuangan yang mereda tersebut memberikan dampak pada meningkatnya aliran modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sejalan dengan itu, tekanan terhadap nilai tukar mata uang negara berkembang juga berkurang, termasuk rupiah. Di sisi lain, pengamat ekonomi Chatib Basri menuturkan, bunga acuan dapat memengaruhi biaya dana. Di tengah tren suku bunga acuan yang tinggi, katanya, biaya dana dikhawatirkan akan membengkak.
“Tahun ini bukan periode yang mudah bagi bank, saat interest rate mengalami peningkatan, maka kuncinya adalah siapa yang bisa menjaga cost of fund relatif murah,” katanya, Rabu (15/2/2023).
Terlepas dari semua itu, kebijakan yang telah diambil Bank Indonesia dengan tetap mempertahankan suku bunga acuan tentu patut diapresiasi. Langkah bank sentral berani mengambil kebijakan itu tentu dengan pertimbangan inflasi tetap terkendali pada rentang target sasaran, selain tentu juga memperhatikan faktor inflasi global serta respons terhadap kebijakan moneter.
Harapannya, resiliansi dan akselerasi pertumbuhan ekonomi tetap tinggi di rentang 3,7 persen--5,3 persen.Red/sumber:indonesia.go.id