Namun, situasi perekonomian global yang diprediksi tidak bersahabat pada tahun ini, akibat masih berlarutnya perang Rusia-Ukraina mengancam dunia dengan bayang-bayang resesi, membuat dunia perlu mengkaji lagi peta jalan berkaitan dengan energi bersih.
Demikian pula dengan Indonesia. Komitmen Indonesia untuk mengembangkan energi bersih, salah satunya dengan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS. Pasalnya sebagai negara yang berada tepat di garis khatulistiwa, Indonesia kaya dengan sumber energi itu.
Hanya saja, kendati kemauan besar, negara ini perlu memantapkan langkah untuk menggarap proyek energi bersih jenis itu. Seperti disampaikan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim, pemerintah memang menyatakan keinginan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT), tapi pelaksanaannya tetap butuh upaya ekstra.
Sebagai informasi, sumber listrik nasional masih didominasi oleh pembangkit berbasis batu bara. Dari berbagai potensi energi terbarukan, potensi tenaga surya menjadi yang terbesar, yakni mencapai 3.294 megawatt (MW).
Meski begitu, pemanfaatan tenaga surya untuk listrik tercatat baru 0,01 persen. Sementara itu, panas bumi yang potensinya 23,9 gigawatt (GW) telah dimanfaatkan 9,6 persen dan energi hidro dengan potensi 95 GW telah dimanfaatkan 7 persen.
Menurut Herman, pengembangan energi terbarukan harus dimulai dengan pengurangan penggunaan energi fosil, baik untuk pembangkit listrik maupun transportasi. Menurutnya, syarat mutlak pengembangan energi terbarukan adalah 'perlawanan' terhadap energi fosil.
Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap. Pemerintah dapat memberlakukan harga BBM yang bergerak sesuai kondisi pasar atau harga bahan baku sehingga masyarakat terbiasa atas perubahan harga dan subsidi dapat berkurang perlahan.
Turunnya beban subsidi BBM membuat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) memiliki ruang lebih besar untuk mengembangkan EBT. Setelah itu, pemerintah perlu memantapkan keberanian untuk benar-benar mengembangkan energi terbarukan secara masif.
Menciptakan Keseimbangan
Saat ini, menurut Herman, tercipta pertandingan yang tidak seimbang antara pengembangan energi terbarukan dan penggunaan energi fosil. Herman menilai, pemerintah tidak memiliki keberanian untuk menciptakan keseimbangan karena terdapat pula risiko politik dari kebijakan energi.
"Sebenarnya, yang diperlukan adalah political guts dan cohesiveness atau kekompakan," tambahnya.
Kembali lagi dalam rangka pengembangan energi surya, Dewan Energi Nasional sebenarnya telah mendorong pembangunan pabrik panel surya pertama di Indonesia, lewat kerja sama badan usaha milik negara (BUMN) dengan swasta. DEN sudah memegang komitmen PT Len Industri (Persero), PT PLN Indonesia Power, dan PT Agra Surya Energy untuk berinvestasi pada pembangunan pabrik panel surya pertama di Indonesia tahun ini.
“Kita sudah lakukan feasibility study, kita butuh dana Rp4 triliun untuk membangun pabrik untuk modul surya itu,” kata Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto di Jakarta, Kamis (23/2/2023).
Djoko mengatakan, inisiasi pembentukan pabrik panel surya itu menjadi krusial di tengah impor komponen bahan baku yang terbilang tinggi dari Tiongkok beberapa waktu terakhir. Di sisi lain, kata dia, Indonesia justru melakukan ekspor pasir silika sebagai salah satu bahan dasar pembentuk komponen panel surya yang relatif besar setiap tahunnya ke Tiongkok.
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan mencatat ekspor pasir silika ke Tiongkok sempat menyentuh di angka 1,39 juta ton pada 2021. Saat itu, nilai ekspor ditaksir mencapai di angka USD23,18 juta.
“Selama ini kita hanya instalasi begitu, perakitan saja, kalau sekarang masih impor kita belum punya pabrik itu, kita akan bangun pabrik itu,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku geram lantaran kinerja ekspor aluminium serta panel surya domestik berada di urutan masing-masing ke-33 dan 31 dunia. Malahan sebagian besar bahan baku pembentuk dua produk itu dijual ke Tiongkok.
Di sisi lain, Presiden Jokowi menyayangkan, justru ekspor bijih bauksit domestik berada di posisi ke-3 dunia. Artinya, sebagian besar bahan mentah itu belum terhilirisasi dengan optimal di dalam negeri.
“Indonesia ini ekspor bahan mentah bauksit nomor tiga di dunia, tetapi ekspor aluminium kita nomor 33. Mentahannya nomor tiga, barang jadinya 33,” kata Presiden Jokowi saat membuka Mandiri Investment Forum, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Apalagi, Presiden Jokowi menambahkan, potensi nilai tambah yang bisa diambil Indonesia lewat industrialisasi panel surya dapat mencapai 194 kali dari nilai ekspor bahan mentah. "Kalau ini kita kerjakan, panel surya itu nilai tambahnya sampai 194 kali, perkaliannya coba nikel sudah 33 kali, yang ini 194 kali," tuturnya.Red/Indonesia.go.id/Hms