Dari pertemuan puncak, KTT ASEAN, pemimpin negara kawasan itu diharapkan bisa menghasilkan sejumlah komunike bersama. Salah satunya adalah memperkuat posisi negara-negara yang tergabung di organisasi regional tersebut sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.
Sebagai sebuah kekuatan ekonomi, ASEAN patut diperhitungkan sebagai kekuatan ekonomi di masa datang. Pasalnya, dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar USD3,36 triliun, kawasan ini menjadi kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia.
Dalam konteks lain, posisi Indonesia pun menjadi sangat strategis. Hal ini bukan saja karena Indonesia adalah pendiri dan negara terbesar di ASEAN, namun juga karena pada 2023 juga memegang tampuk sebagai Ketua. Kondisi yang membuat negara Kawasan berharap banyak.
Peran Indonesia juga semakin sentral karena juga tergabung dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Artinya, Indonesia menjadi motor untuk menjembatani sekaligus menyinergikan implementasi pakta perdagangan Asia Pasifik tersebut.
Melalui pakta itu, perekonomian negara-negara ASEAN dan lima negara mitranya, yakni Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, akan semakin terintegrasi.
Jika ditotal, 15 negara yang tergabung dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) memiliki PDB USD26,1 triliun. Artinya, nyaris sepertiga PDB dunia berkelindan di ASEAN dan negara mitranya.
Dengan tarif impor dan bea masuk yang lebih rendah, arus perdagangan antar 15 negara partisipan akan semakin melesat. Setelah disepakati dalam KTT ASEAN ke-37 pada 2020, Indonesia dan 12 negara partisipan lain sudah meratifikasi RCEP. Filipina akan segera menyusul di tahun ini.
Hal ini tentu berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan membuka peluang usaha dan investasi lebih luas bagi korporasi maupun individu. Dalam laporan ADB (Asian Development Bank) terkait RCEP yang dipublikasikan di Mei 2022, RCEP diperkirakan bisa meningkatkan PDB kawasan sebesar USD245 miliar pada 2030.
Pakta perdagangan tersebut juga bisa menambah 2,8 juta lapangan pekerjaan. Lembaga riset ERIA, dalam laporan RCEP: Implications, Challenges, and Future Growth of East Asia and ASEAN, memproyeksikan implementasi pakta RCEP bisa meningkatkan kegiatan ekspor-impor di atas USD500 miliar pada 2035.
RCEP juga berpotensi menyumbangkan tambahan investasi segar sebesar USD490 miliar. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahkan mengungkapkan bahwa RCEP bisa menambah nilai ekspor Indonesia sebesar USD5,01 miliar pada 2040.
Sebaliknya, jika tidak mengikuti RCEP justru bisa mengurangi ekspor. Dengan total populasi 2,2 miliar jiwa yang tersebar di 15 negara, RCEP ibarat kata adalah kue besar yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Dalam konteks itu, semua pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha tentu harus terus didorong untuk memanfatkan pakta perdagangan regional itu secara optimal. Kesadaran terkait RCEP perlu dipupuk lebih dalam dan lebih luas agar pihak swasta lebih teredukasi tentang RCEP untuk bisa lebih mengoptimalkan peluang usaha di ASEAN dan Asia Pasifik.
Tak dipungkiri, banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan adanya RCEP, salah satunya adalah tarif perdagangan yang semakin rendah.
Singapura, misalnya, telah menihilkan seluruh tarif sejak implementasi RCEP tahun lalu. Sedangkan Vietnam, dengan pendapatan per kapita lebih rendah dan konektivitas yang belum sebaik Singapura, akan ikut menurunkan tarif secara bertahap dalam 25 tahun ke depan.
Hal ini sejalan dengan semangat kekeluargaan ASEAN serta menyesuaikan kondisi masing-masing negara anggota. Jangan sampai pakta perdagangan seperti RCEP malah merugikan negara yang masih berkembang.
Maka tentu menjadi saat yang tepat bagi korporasi untuk mempelajari RCEP lebih dalam agar bisa mengambil peluang yang semakin terbuka, karena Asia Pasifik adalah masa depan ekonomi dunia. Semoga.dilansir dari indonesia.go.id