Jakarta, Jendelaindo - Gebrakan pemerintah itu akhirnya berbuah manis. Dalam satu bulan, selepas pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2023 yang mengatur tatanan baru ekspor hasil sumber daya alam (SDA), sebanyak 64 eksportir telah memarkir dolar hasil ekspor sumber daya alam (SDA) senilai senilai USD605 juta atau setara Rp9,2 triliun (asumsi kurs Rp15.235 per dolar AS).
"Kami laporkan Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani), sekarang 64 eksportir sudah join. Sudah ada kenaikan sekitar USD605 juta TD DHE. Ini belum efektif, tapi kami terus dorong dengan kemenko (Kemenko Perekonomian)," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (31/8/2023).
DHE yang dimaksud Gubernur BI adalah devisa hasil ekspor. Masalah DHE ini sejatinya merupakan ‘lagu’ lama, bahwa sudah menjadi rahasia umum di kalangan eksportir bahwa DHE disimpan di luar negeri, terutama di Singapura. Hal itu dimungkinkan, lantaran Indonesia menganut rezim devisa bebas. Di mana Indonesia tidak melarang warganya menyimpan DHE di luar negeri.
Wacana mengatur ulang DHE yang bebas ditempatkan di LN itu, sejatinya sudah lama mengemuka, namun sulit terealisasi. Oleh karena itu, saat muncul Peraturan Pemerintah (PP) 36/2023 yang mengatur tatanan baru ekspor hasil sumber daya alam (SDA) dinilai sebagai lompatan besar.
Seperti diungkap Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di Jakarta, pada Jumat (28/7/2023), beleid itu mewajibkan eksportir menempatkan, sedikitnya 30 persen DHE SDA, di dalam negeri. Tujuan utama pengaturan di tengah arus rezim devisa bebas ini adalah untuk memperkuat cadangan devisa RI. Ujungnya, adalah menjaga stabilitas rupiah maupun ekonomi, sehingga ekonomi Indonesia lebih tahan di tengah kondisi ketidakpastian global.
Selain itu, sebagaimana penjelasan Menko Airlangga, terbitnya PP 36/2023 itu merupakan amanat dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar tentang sumber daya alam agar benar-benar buat kemakmuran rakyat dan menjaga ketahanan ekonomi nasional. Adapun hasil ekspor SDA yang dimaksud dalam beleid baru itu mencakup empat sektor yakni pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Nilai ekspor keempat sektor tersebut sangat besar. Semisal pada 2022, angkanya mencapai 203 miliar dolar AS. Secara matematis, 30 persen dari nilai ekspor (203 miliar dolar AS) tersebut mencapai sedikitnya 60 miliar dolar AS atau sekitar Rp918 triliun dalam setahun. Bayangkan saja jika dana itu terparkir di dalam negeri, cadangan devisa RI tentu akan menguat. Apalagi, kalau hitungan Menko Airlangga terealisir, konon potensinya bisa hingga 100 miliar dolar AS.
Dalam catatan pemerintah, angka ekspor SDA tertinggi adalah dari sektor pertambangan yang mencapai 44 persen atau 129 miliar dolar AS. Dari angka tersebut, komoditas batu bara berkontribusi paling besar, yakni sebesar 36 persen. Selanjutnya, peringkat kedua dari sektor perkebunan dengan nilai 55,2 miliar dolar AS. Sebanyak 27,8 miliar di antaranya berasal dari kelapa sawit.
Peringkat ketiga adalah sektor kehutanan dengan nilai 11,9 miliar dolar AS. Adapun penyumpat nomor empat adalah sektor perikanan menyentuh 6,9 miliar dolar AS.
Bebas Parkir untuk UMKM
Menarik pula untuk disimak, bahwa kewajiban parkir DHE itu rupanya tidak berlaku untuk semua eksportir. Merujuk Pasal 6 PP 36/2023, penempatan DHE SDA dalam rekening khusus, hanya wajib untuk eksportir yang memiliki nilai ekspor pada pemberitahuan pabean ekspor (PPE) paling sedikit 250 ribu dolar Amerika Serikat atau ekuivalennya. Artinya, eksportir dengan nilai di bawah jumlah Rp3,8 miliar (untuk nilai kurs Rp15.308/dolar AS), bebas dari kewajiban untuk memarkir DHE-nya.
Pada umumnya, nilai LC (letter of credit) di bawah US$250 ribu adalah kelompok eksportir Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dengan begitu, tentu mereka tidak kena terdampak dan bisa terus berkembang.
Dukungan Regulasi
Menarik pula untuk disimak, bahwa kewajiban parkir DHE itu rupanya tidak berlaku untuk semua eksportir. Merujuk Pasal 6 PP 36/2023, penempatan DHE SDA dalam rekening khusus, hanya wajib untuk eksportir yang memiliki nilai ekspor pada pemberitahuan pabean ekspor (PPE) paling sedikit 250 ribu dolar Amerika Serikat atau ekuivalennya. Artinya, eksportir dengan nilai di bawah jumlah Rp3,8 miliar (untuk nilai kurs Rp15.308/dolar AS), bebas dari kewajiban untuk memarkir DHE-nya.
Pada umumnya, nilai LC (letter of credit) di bawah US$250 ribu adalah kelompok eksportir Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dengan begitu, tentu mereka tidak kena terdampak dan bisa terus berkembang.
Dukungan Regulasi
Melengkapi PP 36/2023 tersebut, pada saat yang sama, Kementerian Keuangan mengeluarkan dua beleid yang juga berlaku mulai 1 Agustus 2023. Pertama yakni Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor 272 tahun 2023. Isinya, penambahan 260 pos tarif, dari 1.285 sebagaimana diatur lewat KMK/04/2020. Artinya, sebagaimana dikutip GPR News edisi Agustus 2023, total saat ini ada 1.545 pos tarif yang masuk dalam pengenaan kewajiban DHE.
Kedua, yakni PMK 73/2023. Isinya, mengutip penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, terkait aturan pengenaan dan pencabutan sanksi administratif atas pelanggaran dari ketentuan DHE. Penerapan sanksi tersebut akan dilaksanakan oleh Bea Cukai dalam bentuk penangguhan pelayanan ekspor.
Sanksi akan dikenakan setelah Bea Cukai mendapatkan informasi baik itu lewat Bank Indonesia (BI) atau pun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) . "Bea Cukai akan menyampaikan sanksi itu ke eksportir bersangkutan atau lembaga terkait," jelas Menkeu Sri Mulyani.
Sementara itu, koreksi dapat dilakukan bila ada kesalahan pengenaan sanksi. Eksportir yang melanggar dapat mengajukan keberatan. Bila penelahaan BI dan OJK menunjukkan bahwa eksportir itu telah memenuhi kewajiban, maka sanksi administratif akan dicabut. Sumber// Indonesia.go.id