Tegal, Jendelaindo - Puluhan warga menggelar aksi damai di kawasan car free day Alun-alun Kota Tegal, Jawa Tengah, Minggu (09/06/24). Mereka yang berasal dari Kelurahan Mintaragen dan Kelurahan Panggung, Kota Tegal, mngaku mewakili ribuan warga di dua kelurahan tersebut.
Warga resah, karena upaya mereka untuk pensertifikatan tanah bangunan melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tak kunjung membuahkan hasil. Padahal warga telah menempatinya selama berpuluh tahun.
Abdurohman, salah satu warga Kelurahan Mintaragen mengungkapkan, pendaftaran PTSL sudah dilakukan sejak tahun 2019 lalu. Bahkan menurutnya, BPN telah melakukan pengukuran dan menerbitkan Nomor Identifikasi Bidang (NIB).
Yang membuat warga tambah kecewa, belakangan diketahui sulitnya mengurus penerbitan Sertifikat lantaran tanah yang ditempati oleh warga di klaim merupakan aset Pemerintah Kota Tegal. Hal itu dikuatkan dengan terbitnya Surat Keputusan Wali Kota Tegal tentang status tanah tersebut.
Warga mendesak Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ATR/BPN segera menyelesaikan sengkarut kepemilikan tanah di wilayah tersebut. Karena selama puluhan tahun Pemerintah Kota Tegal tidak becus menyelesaikannya.
"Kami minta pemerintah pusat segera menyelesaikan sengkarut kepemilikan tanah yang telah kami tempati berpuluh tahun," kata Abdurahman.
Disisi lain Pemkot Tegal dituding melakukan pungli kepada ribuan warga yang menempati 5.200 lebih bidang tanah. Cara pungli dilakukan dengan penarikan retribusi sewa atas tanah yang dikuasai Pemkot Tegal melalui Keputusan Walikota terbaru yaitu Keputusan Walikota Tegal No 593.3/203 tahun 2022 tentang Pemberian Izin Pemakaian Tanah Penguasaan Pemerintah Kota Tegal.
"Kami ditarik retribusi tahunan. Besarnya bervariasi tergantung luas bidang yang kami tempati," ujar warga lainnya, Roso.
Yang membuat warga semakin heran, tidak sedikit warga lain yang mengajukan pensertifikatan tanah di lokasi yang sama ternyata bisa mendapatkan sertifikat. Sementara mereka yang juga telah mendaftarkan penerbitan sertifikat melalui PTSL tak berhasil.
Fakta yang ada menunjukan di Kelurahan Panggung telah terbit sertifikat HM dari tanah negara tahun 1996. Demikian halnya di Kelurahan Mintaragen sudah ada bidang tanah yang bersertifikat Hak Milik yang berasal dari Petuk D No 346 Persil 37 Di seluas 422 m2.
"Kami merasa iri, koq ada warga lain bisa mendapatkan sertifikat, tapi kami seperti dipersulit, bahkan tanah yang kami tempati malah diakui sebagai aset pemkot," ucap Roso.
Menurut keterangan, banyak warga yang menempati tanah tersebut telah membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan demikian warga sekarang ini terkena kewajiban membayar retribusi dan PBB. Namun belakangan, nama wajib pajak yang tertulis berubah menjadi nama warga dan Pemkot Tegal
LSM Lembaga Investigasi Kemasyarakatan Republik Indonesia selaku pendamping warga, menemukan berbagai persoalan di lapangan. Salah satunya ada warga yang memiliki Leter C L/C ditarik paksa oleh oknum dan diganti dengan SK Pemkot Tegal.
"Padahal kami melihat tanah yang sedang kami perjuangkan ini sebenarnya tanah negara yang sudah dikuasi berpuluh tahun oleh warga," kata Yance Langke dari LSM Lembaga Investigasi Kemasyarakatan Indonesia.
Diperkirakan Pemkot Tegal sekitar tahun 2010-2015 memasukan lebih dari 5.200 bidang tanah di tiga kelurahan bahkan mungkin di kelurahan lain kedalam Neraca Kekayaan Daerah Pemkot itulah dalih Pemkot Tegal menarik retribusi Padahal bidang bidang tanah tersebut dikuasahi oleh masyarakat, bukan milik Pemkot Tegal.
"Pertanyaannya adalah atas dasar hukum apa Pemkot Tegal memasukkan tanah yang dikuasai warga lantas secara diam-diam, sepihak dan licik dimasukan ke dalam Neraca Kekayaan Daerah Pemkot Tegal?" ucap Yance.
Dikatakan licik dan keji dan jelas merugikan masyarakat, imbuh Yance, karena beberapa tahun terakhir Pemkot Tegal tanpa sepengetahuan wajib pajak menempelkan atau menulis kalimat "Pemkot Tegal" didepan nama wajib pajak. Hal ini melanggar UU No 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bum, dan Bangunan pasal 4 ayat 1 tentang Subyek Pajak yang berbunyi, yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasahi dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.
"Mencantumkan kalimat Pemkot Tegal di depan nama wajib pajak supaya seakan akan Pemkot Tegal menguasahi tanah, rumah/bangunan yang menjadi tempat tinggal warga supaya dianggap sebagai subyek pajak demi memuluskan untuk bisa merampas hak tanah warga. Dirubah menjadi milik Pemkot. Maka konsekuensinya warga dipungut retribusi dengan dalih dan status Hak Pakai," terangnya.
Yance menjelaskan, terkait dengan dengan permasalahan tanah tersebut, DPRD Kota Tegal dengan keputusannya Nomor 41 Tahun 2022 tentang Rekomendasai Panitia Khusus V Dewan Pewrwakilan Rakyat Daerah Kota Tegal, Pembahas Pensertifikatan Tanah Untuk Masyarakat, memutuskan, menetapkan Menyetujui pelepasan dan atau pemindahtanganan aset Pemerintah Kota Tegal yang diajukan oleh masyarakat melalui Panitia Khusus V Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tegal.
Meminta kepada Pemerintah Kota Tegal untuk dapat menindaklanjuti Keputusan ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Namun sampai saat ini Pemkot Tegal tidak memiliki empati dan tidak berpihak pada rakyat dengan mengabaikan Rekomendasi tersebut.
Akibat lebih lanjut dari tindakan kepongahan dan mau menang sendiri Pemkot Tegal yaitu pelaksanaan program PTSL tahun 2020 di Kota Tegal yang proses pengukuran tanah selesai dan NIB (Nomor Identifikasi Bidang Tanah) sebagian sudah keluar tiba tiba dihentikan oleh Pemkot Tegal dengan dalih sudah masuk dalam aset daerah. Padahal dalih tersebut jelas cacat hukum.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut warga mendesak kepada Pemerintah Pusat segera menyelesaikannya dan mendesak tegas dan menuntut kepada Pemkot Tegal untuk menghapus tanah negara yang sudah puluhan tahun dikuasai masyarakat dari dalam Neraca Aset Daerah Pemkot Tegal.
"Bila Pemkot Tegal tidak segera merealisasikan tuntutan warga maka warga mempertimbangkan untuk menuntut secara hukum, melalui class action atau cara cara lain yang syah dan melakukan unjuk rasa/ demo besar besaran," pungkas Yance.
(Nonita Zufrina)