Jakarta, Jendelaindo - Anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Perjuangan (KTKI-P) melaporkan dugaan maladministrasi yang terjadi dalam proses penetapan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 69/M/2024 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).
Dalam laporannya kepada Ombudsman Republik Indonesia, Senin (4/11), KTKI-P menyoroti pelanggaran asas keterbukaan, keadilan, akuntabilitas, dan kepatutan dalam prosedur rekrutmen yang diduga bertentangan dengan prinsip-prinsip good public governance.
Kedatangan anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Perjuangan (KTKI-P) yang ketiga kalinya ke gedung Ombudsman RI bertujuan untuk melengkapi pemberkasan surat-surat dan bukti-bukti yang belum lengkap.
Dengan kelengkapan dokumen ini, mereka berharap Ombudsman RI dapat segera melaksanakan tugas pokok dan fungsinya untuk mengaudit transparansi dalam proses seleksi yang terjadi pada pembentukan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).
Dugaan Pelanggaran Asas Keterbukaan KTKI-P menggarisbawahi pelanggaran terkait asas keterbukaan, yang diatur dalam PMK No. 12/2024 Pasal 7, di mana seharusnya seleksi anggota Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) dan tenaga kesehatan diumumkan secara terbuka kepada masyarakat.
Namun, laporan mengindikasikan bahwa nama calon anggota yang lulus seleksi tidak pernah dipublikasikan, meskipun pengumuman seleksi sudah dikeluarkan pada 30 September 2024.
Selain itu, KTKI-P mempertanyakan legalitas surat KM.04.01/Menkes/690/2024 yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan, karena dinilai tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 PMK No.12/2024, yang mensyaratkan jumlah calon dua kali dari jumlah kebutuhan. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian terkait batas usia Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai perwakilan unsur pemerintah dalam KKI.
Berdasarkan penelusuran, diketahui bahwa tiga PNS yang terpilih sebagai Ketua dan anggota KKI sudah atau akan memasuki masa pensiun.
drg. Arianti Anaya, MKM., telah pensiun per 1 Oktober 2024; dr. Mohammad Syahril, Sp.P., M.P.H, akan pensiun pada 1 Agustus 2027 dan hanya bisa menjabat selama tiga tahun sebelum digantikan antar waktu; serta dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D., yang akan pensiun pada 1 September 2026 dan hanya bisa menjabat dua tahun.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pengangkatan ini tidak sesuai dengan persyaratan usia maksimal PNS yang ditetapkan untuk perwakilan unsur pemerintah.
Lebih jauh lagi, KTKI-P mengungkapkan bahwa Megawati Santoso, Ph.D., yang diangkat sebagai perwakilan unsur masyarakat, diduga tidak memenuhi kriteria karena peraturan dalam PMK No. 12/2024 mensyaratkan bahwa unsur masyarakat harus berasal dari lembaga pendidikan kesehatan atau layanan kesehatan.
Megawati sendiri berhenti sementara dari posisinya sebagai PNS Dosen Kimia di ITB untuk menjabat sebagai anggota KTKI hingga 2027, yang menurut KTKI-P, tidak dapat merepresentasikan unsur masyarakat sesuai ketentuan yang berlaku.
Dugaan Pelanggaran Asas Akuntabilitas dan Kepatutan
KTKI-Perjuangan mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran serius terhadap asas akuntabilitas dan kepatutan dalam penetapan pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) melalui Keputusan Presiden Nomor 69/M/2024.
Mereka menyatakan bahwa proses pengangkatan pimpinan KKI, yang diatur dalam Keppres Republik Indonesia Nomor 69/M/2024 tentang Pemberhentian Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia dan Keanggotaan Konsil Masing-Masing Tenaga Kesehatan serta Pengangkatan Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia per 11 Oktober 2024, diduga kuat mengandung unsur maladministrasi.
Dalam laporannya, KTKI-Perjuangan menyoroti beberapa kejanggalan, di antaranya penunjukan drg. Arianti Anaya, MKM, sebagai perwakilan unsur pemerintah meskipun beliau telah pensiun per 1 Oktober 2024.
Selain itu, penunjukan drg. Arianti sebagai Ketua KKI dalam Keppres tersebut dianggap tidak sesuai dengan prinsip kolegialitas yang seharusnya diterapkan dalam lembaga non-struktural yang independen.
Sebagai perbandingan, Keppres 31/M 2022 mengedepankan prinsip kolektif kolegial, sementara dalam Keppres 69/M/2024 secara eksplisit dicantumkan siapa yang menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Lebih lanjut, KTKI-Perjuangan menyatakan bahwa prosedur pengangkatan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69/M/2024 juga tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian PNS.
Selain itu, Keppres ini diduga tidak disertai cap dinas resmi dari Deputi Bidang Administrasi Aparatur Kementerian Sekretariat Negara RI, yang semakin memperkuat dugaan adanya maladministrasi dalam proses pengangkatan ini.
Permohonan Transparansi dari KTKI-P:
Dengan berbagai temuan ini, KTKI-Perjuangan mengajukan permohonan kepada Ombudsman untuk memanggil pihak terkait, termasuk Kementerian Sekretariat Negara, agar memberikan penjelasan secara terbuka mengenai proses pengangkatan pimpinan KKI yang dinilai tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
KTKI-P juga mendesak, agar dilakukan ulang proses seleksi pimpinan KKI yang diduga tidak transparan serta pengangkatan yang dianggap maladministrasi, karena dinilai bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku.
Laporan ini menjadi sorotan di tengah upaya masyarakat untuk menuntut tata kelola yang lebih baik di sektor kesehatan, dengan tujuan memastikan bahwa lembaga-lembaga pemerintah bertanggung jawab terhadap proses rekrutmen dan pengangkatan pejabat publik, serta menghormati asas keadilan, keterbukaan, dan transparansi dalam setiap tahapannya. (BAE)