Jakarta, Jendelaindo - Anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Perjuangan (KTKI-P) secara resmi melaporkan kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan terkait dampak PHK massal yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan terhadap 86 tenaga kesehatan. Senin (4/11).
Keputusan ini mengundang kontroversi, karena dianggap mengejutkan dan dilakukan tanpa pemberitahuan atau evaluasi mendalam, sehingga menimbulkan keresahan atas dugaan pengabaian hak-hak dasar anggota KTKI yang terdampak.
Di antara korban PHK ini, terdapat beberapa janda yang menjadi tulang punggung keluarga dan memiliki anak yang masih membutuhkan biaya pendidikan tinggi, baik di perguruan tinggi swasta maupun negeri. Tanpa pekerjaan tetap, kesejahteraan keluarga para korban terguncang, terutama karena mereka bergantung pada pendapatan tersebut untuk kebutuhan sehari-hari.
Selain dampak langsung dari PHK, KTKI-P juga menyoroti dugaan maladministrasi dalam proses rekrutmen anggota baru Konsil Kesehatan Indonesia (KKI). Proses ini diduga telah diumumkan pada 18 September, meskipun dasar hukumnya baru ditetapkan pada 23 September 2024 melalui Peraturan Menteri Kesehatan (PMK).
Rahma, salah satu perwakilan KTKI-P, menilai bahwa pengumuman rekrutmen yang mendahului dasar hukum tersebut melanggar prosedur. Ia juga mengkritik durasi rekrutmen yang hanya berlangsung delapan hari sebagai langkah yang berisiko terhadap kualitas dan akuntabilitas proses seleksi, serta menimbulkan kekhawatiran mengenai integritas pelantikan anggota baru KKI.
Menurut Rahma, "Proses yang terburu-buru dan tidak transparan ini berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap KKI sebagai lembaga yang seharusnya independen dan profesional."
Kerumitan situasi ini semakin meningkat sejak diberlakukannya kebijakan Kementerian Kesehatan pada September 2022 yang mengharuskan anggota KTKI melakukan presensi rutin di Jakarta.
Kebijakan tersebut membuat banyak anggota, terutama yang berasal dari luar Jakarta, harus pindah dan meninggalkan pekerjaan asal mereka demi memenuhi tuntutan untuk mengabdi di KTKI.
Bagi beberapa anggota, pengorbanan ini akhirnya berujung pada PHK mendadak yang dilakukan tanpa mitigasi atau persiapan. Chandi Lobing, anggota KTKI dari Sulawesi Tenggara, menyebut tindakan PHK ini sebagai langkah yang sembrono dan tidak mempertimbangkan keberlanjutan hidup para korban, banyak di antaranya telah mengorbankan posisi dan rutinitas mereka demi mengabdi di Jakarta.
Baequni, perwakilan lain dari KTKI-P, menegaskan bahwa pemerintah seharusnya memberikan pengumuman dan transisi yang jelas sebelum melakukan pemutusan kerja, yang dinilainya lebih bijaksana dan manusiawi, terutama untuk anggota yang telah meninggalkan pekerjaan sebelumnya.
Ketidakpastian masa depan ini tidak hanya memengaruhi aspek profesional, tetapi juga kehidupan pribadi para anggota. Beberapa, seperti Tri Moedji yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Instalasi Rekam Medis di sebuah RSUD, kini harus menjadi pengemudi ojek online untuk memenuhi kebutuhan harian. Moedji, seorang single parent, kini merasa terabaikan setelah pengorbanan yang ia lakukan untuk menjadi bagian dari KTKI.
Para anggota KTKI-P berharap agar pemerintah segera menunjukkan komitmen dalam melakukan reformasi di dalam proses rekrutmen dan manajemen KKI.
Mereka menuntut transparansi dan akuntabilitas penuh dalam setiap tahapan seleksi anggota baru agar KKI benar-benar berfungsi sebagai lembaga independen dan demokratis, tanpa intervensi yang dapat menghambat pelaksanaan hak-hak anggotanya.
Dukungan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan diharapkan dapat memperkuat desakan ini, agar Kementerian Kesehatan menyadari dampak dari kebijakan sepihak yang telah menimbulkan efek domino terhadap kesejahteraan anggota KTKI.
KTKI-P berharap bahwa hak dan kesejahteraan seluruh tenaga kesehatan dapat terlindungi dan terjamin dalam mengabdi kepada bangsa dan negara.(BAE).